Selasa, 29 Maret 2011

belajar dari kisah 'Narkissus'

N
arkissus, putra dewa sungai keramat Kephises, memiliki wajah yang sangat rupawan hingga membuat semua peri hutan jatuh cinta kepadanya. Narkissus menyadari hal ini dan membuatnya bangga, sekaligus angkuh. Ia memang tak pernah merasakan jatuh cinta, tapi ia senang bila orang lain tergila-gila padanya. Dan bila ada wanita yang mabuk kepayang kepadanya, Narkissus menjadi semakin angkuh. Hal ini mengusik dewi Aphrodite yang tidak menyukai kesombongan semacam itu.
Salah seorang peri yang mencintai Narkissus adalah Ekho yang jelita, namun tidak bisa berbicara selain mengulang kata terakhir dari kalimat yang didengarnya. Ekho jatuh hati pada pandangan pertama ketika melihat Narkissus berjalan-jalan di hutan. Tak pernah dalam hidupnya Ekho melihat pemuda sesempurna dan seangkuh Narkissus. Tapi karena malu untuk menghampirinya, Ekho hanya berani mengagumi ketampanan Narkissus dari balik semak.
Sadar bahwa langkahnya diikuti dari belakang oleh seseorang, tanpa menoleh, Narkissus berteriak tiba-tiba, "Siapa yang mengintipku?"
"Kku!", jawab Ekho.
"Dimana engkau? Ke sini!", lanjut Narkissus dengan suara lebih lembut.
"Ssini!", sahut Ekho. Akan tetapi Narkissus tidak melihat siapapun.
"Keluarlah! Aku ingin melihatmu!", seru Narkissus.
"Melihatmu!", ulang Ekho dengan gembira. Bersamaan dengan itu Ekho muncul, berlari menghampiri Narkissus.
Meskipun kecantikan Ekho sangat mempesona dan menakjubkan, namun tidak cukup untuk melunakkan hati dan kepongahan Narkissus. Pemuda itu sangat puas melihat mata indah Ekho yang berbinar-binar.
"Pergi! Kaupikir aku menyukaimu, tolol!", bentak Narkissus dengan angkuh.
"Tolol...?", ulang Ekho sambil menangis dan berlari menjauh.
Aphrodite tidak dapat lagi membiarkan sikap Narkissus seperti ini dan menodai arti ketulusan cinta.
Suatu hari, ketika berjalan-jalan di hutan, Narkissus merasa haus dan ingin minum. Setelah berusaha mencari sumber minum, ia menemukan sebuah kolam kecil di tengah hutan. Airnya begitu bening seperti kristal. Di bawah keteduhan pohon-pohon hutan, tempat itu sedemikian tenang dan semua pemandangan di sekitarnya terbayang di permukaan air yang jernih laksana cermin. Saat Narkissus membungkuk untuk minum, ia melihat bayangan wajahnya sendiri. Pada saat yang sama, putra Aphrodite yang selalu taat perintah ibunya, Eros, melepaskan anak panah yang menembus tepat di hati Narkissus.
Pemuda itu tiak menyadari bahwa wajah yang terpantul di air adalah wajahnya sendiri. Dan tiba-tiba hatinya dipenuhi rasa cinta terhadap pantulan wajah yang dilihatnya itu. Belum pernah ia melihat wajah serupawan itu. Narkissus tak puas-puasnya memandang ke kolam, tangannya berusaha menyentuh bayangan di air dan ia melihat bayangannya melakukan gerakan serupa. Kemudian saat ia membungkukkan badan untuk menciumnya, bibirnya menyentuh permukaan air dan membuat bayangan wajahnya seperti berlipat-lipat. Ketika sekali lagi ia melakukan hal yang sama, kejadian itu berulang lagi.
Merasa kesal dan putus asa, ia tidak mau meninggalkan tempat itu dan hanya berlutut di tepi kolam tanpa makan dan minum. Hari-hari dan malam-malam berlalu dan Narkissus masih saja setia memandangi bayangan wajahnya sendiri. Eros telah membuat pemuda yang tak pernah mengenal arti cinta itu tergila-gila pada wajahnya sendiri. Lama-kelamaan tubuhnya semakin lemah dan terus melemah, hingga ajal datang menjemputnya. Wajahnya yang pucat membayang di permukaan air yang tenang.
Semua peri hutan meratap sedih mendapati Narkissus tak bernyawa lagi. Yang paling berduka tentu saja Ekho. Ia duduk di samping Narkissus dan tak henti-hentinya menangis sampai ia tertidur karena kelelahan. Saat ia terbangun keesokan harinya, tubuh Narkissus tidak terlihat lagi. Di tempatnya sekarang tumbuh sekuntum bunga berbau harum, yang kemudian disebut bunga narsis (latin. amarylidaceae) . Saat ini bunga narsis kerap digunakan untuk upacara kematian dalam tradisi Yunani.
Ekho yang tak mampu menahan kepedihan hatinya, berjalan tak menentu di dalam hutan dan akhirnya meninggal karena duka cita yang mendalam. Tetapi suaranya masih dapat kita dengar sampai sekarang. Cobalah berjalan di dalam hutan atau pegunungan, dan berteriaklah. Suara peri cantik itu akan terdengar mengulangi kata terakhir dari kalimat yang kita ucapkan.