Historiografi Indonesia modern dimulai sejak diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia di Yogyakarta dimulai pada tahun 1957. Semenjak itu penulisan sejarah Indonesia mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Sehingga dengan demikian dapat dilihat perkembangan Indonesia-sentris yang mulai beranjak. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh bagi perkembangan sejarah itu sendiri. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian tentu saja objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi atau setidaknya
Pada masa ini juga terdapat terobosan baru, yaitu munculnya peranan-peranan rakyat kecil atau wong cilik sebagai pelaku sejarah yang bisa dibilang diperopori oleh Prof. Sartono kartodirjo. Semenjak itu khasanah historiografi Indonesia bertambah luas. Selama ini penulisan sejarah boleh dikatakan didominasi oleh para tokoh-tokoh besar saja seperti para pahlawan kemerdekaan, ataupun tokoh politik yang berpengaruh. Hal tersebut tentu saja tidak jelek, karena pada masa itu yaitu sekitar kemerdekaan, bisa dibilang historiografi dipakai sebagai pemicu rasa nasionalisme ditengah-tengah masyarakat yang baru tumbuh. Oleh karena itu pada masa itu historiografi hanya berisi mengenai biografi dan penulisan tentang tokoh-tokoh besar saja.
Perpindahan pandangan penulisan sejarah yang semula Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris tentu saja sangat berpengaruh bagi perkembangan historiografi selanjutnya. Karena pada masa penjajahan Belanda historiografi Indonesia memiliki ciri Eropa-sentris yaitu lebih memadang bangsa Eropa sebagai yang paling baik, dan bangsa diluar tersebut adalah tidak baik. Tetapi dengan berubahnya pandangan menjadi Indonesia-sentris memungkinkan bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebagai bangsa rendahan. Perkembangan yang terlihat pada penulisan sejarah Indonesia adalah kata-kata "pemberontakan" yang dahulu sering ditulis oleh para sejarawan Eropa kini berganti menjadi "perlawanan" atau "perjuangan" hal tersebut logis karena sebagai bangsa yang terjajah tentu saja harus melawan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan.
Tetapi pada perkembangan setelah Seminar Sejarah tahun 1957 muncul beberapa permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para sejarawan cenderung hanya mengekor pada tradisi historiografi colonial, dalam artian para sejarawan tidak dapat memanfaatkan tradisi keilmuan sosial dalam melakukan penelitian sejarah. Pada permasalahan selanjutnya adalah sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada persoalan Indonesia saja, padahal ada persoalan besar yang berkaitan dengan dunia swecara global. Tetapi tentu saja hal tersebut kemudian menjadi bahan refleksi untuk perkembangan historiografi selanjutnya.