Selasa, 29 Maret 2011

bakufu Jepang


Jepang adalah salah satu wilayah yang cukup berpengaruh dalam khasanah sejarah Asia Timur, selain China dan Korea. Bermacam teori turut pula meramaikan bursa asal muasal munculnya peradaban bangsa matahari ini. Salah satu teori mengatakan bahwa bangsa Jepang terdiri dari kumpulan migrasi bangsa China yang nglurug ke kepulauan paling pojok timur Asia ini lewat semenanjung Korea. Akan tetapi ada pula kalangan yang mengatakan bahwa peradaban bangsa Jepang berawal dari kepulauan selatan territorial Jepang, sebuah teori yang tak bisa dipandang sebelah mata sebagai suatu bukti bahwa Jepang tak hanya mengekor dari tetangganya dlam hal peradaban.
Dengan tidak begitu saja menghiraukan pertentangan di atas, kita tentunya sepakat bahwa bangsa Jepang tak diragukan lagi termasuk dalam jajaran atas kampium para punggawa bangsa Asia Timur yang mampu mempengaruhi laju sejarah Asia, bahkan mungkin dunia!
Terlepas dari keberagaman masyrakat yang membentuk Jepang, akan tetapi yang pasti bangsa ini seperti disatukan dalam naungan Dewa Matahari sebagai suatu identitas bagi mereka. Dalam kesejarahan Jepang bangsa ainu dianggap sebagai penduduk asli dari wilayah ini, kemudian dominasi mereka pelan-pelan tergeser oleh penetrasi para pendatang dari Asia daratan yang menyeberang lewat selat Korea.
Keadaan geografis wilayah Jepang yang terkesan bergunung-gunung dapat dikatakan tak akrab sama sekali jika dialokasikan sebagai daerah pertanian. Dapat disimpulkan kurang dari 40 persen wilayah Jepang sama sekali tak akrab untuk membentuk kehidupan agraris. Kerasnya perjuangan hidup di kawasan ini mau tak mau turut membentuk mental masyarakat mereka menjadi pekerja keras, berdisiplin tinggi, dan yang paling penting pantang menyerah.
Aktivitas pemerintahan dengan bentuk kekaisaran pertamakali tercium oleh sejarah yaitu terjadi pulau Shikoku. Monarki ini kemudian meluaskan pengaruh mereka sampai pada pulau terbesar, Honshu. Akan tetapi lain dari warna monarki di belahan bumi lain, monarki Jepang tak seperti yang mudah dibayangkan orang, karena dalam kehidupan monarki bangsa ini dapat dikatakan bahwa kedudukan kaisar hanya sebagai perlambang atau symbol belaka. Untuk selebihnya kesejarahan masa ini hanya berkutat dengan perebutan kekuasaan dan pengaruh antar shogun.
Perebutan posisi toryo (puncak pimpinan shogun) pada umumnya didalangi oleh tiga keluarga besar dibelakang masing-masing kepentingan mereka. Adalah klan Taira, Minamoto dan Fujiwara, tiga sisi kekuatan besar yang saling bertikai pada awal masa keshogunan. Akhir Pemberontakan Heiji (1160) telah mengangkat Taira no Kiyomori menjadi penasehat kaisar menggantikan Fujiwara yang berkuasa sebelumnya. Lewat jalan perkawinan kaisar dengan seorang gadis Taira telah memberikan alur tersendiri bagi era kekuasaan mereka. Pada masa ini praktis raja hanya sebagai simbol belaka. Dapat dikatakan bahwa kebijakan kekaisaran pada masa ini hanya berpangkal dari kepentingan klan Taira semata.Ulah klan Taira ini serta merta mendapat respon negatif dari golongan Minamoto.
Berpangkal dengan kemenangan pada Perang Gempei (1185), Minamoto no Yoritomo berhasil menggeser dominasi Taira. Pada tahun 1192 ia mendapat gelar  Seii Taishogun (pemimpin militer) di Kyoto. Minamoto no Yoritomo kemudian  mendirikan markas besar di Kamakura, sedangkan kaisar tetap di Kyoto. Semuanya ini adalah permulaan dari kekuasaan bakufu oleh keluarga samurai secara turun-temurun yang memerintah sampai kekuatan kekaisaran kembali berkuasa di tahun 1868.
 
BAKUFU KAMAKURA (1185-1333)

Pemerintahan bakufu[1] Kamakura diawali dari kemenangan gemilang klan Minamoto atas status quo Taira pada perang Gempei (1185). Dalam peperangan ini Minamoto no Yoritomo berhasil memusnahkan seluruh klan Taira termasuk kaisar mudanya yaitu kaisar Antoku.
Pasca kudeta brilian oleh Minamoto, pusat kekuasaan kemudian difokuskan di Kamakura, inilah langkah awal dari periode bakufu Kamakura. Fenomena bakufu Kamakura juga merupakan suatu tonggak dualisme kekuasaan yang terjadi di Jepang. Pemerintahan sipil di Kyoto dan pemerintahan militer di Kamakura.[2]
Lembaga administrative pertama yang di bentuk di Kamakura yaitu:
o   Samurai dokoro, sebuah lembaga yang dalam peranannya mengawasi dan mengkoordinasi para samurai Minamoto.
o   Mandoko, lembaga urusan umum.
o   Manchuyo, lembaga urusan peradilan.[3]
 Untuk mengendalikan dan pengawasan para smurai yang tersebar di masing-masing propinsi diangkat para penanggungjawab tiap-tiap propinsi yang disebut dengan shugo. Sedangkan seorang pengawas tanah sekaligus penarik pajak yang ditugaskan pada tiap shoen (setingkat kabupten) disebut jito. Gambaran kasar struktur kekuasaan tadi itulah yang kemudian disebut sebagai bakufu. Pada umumnya pengenalan istilah kekuasaan bakufu dimulai pada masa Minamoto no Yoritomo. Akan tetapi kekuasaan-kekuasaan shogun setelah ini pun masih akrab disebut sebagai bakufu. Ditambah gelar Seiitai Shogun yang diperoleh di Kyoto maka lengkaplah sudah kekuasaan bakufu Kamakura di bawah Yoritomo.
Setelah wafatnya Yoritomo, tampuk kekuasaan bakufu Kamakura mengalami kemelut perebutan kekuasaan yang cukup panjang. Akan tetapi disela-sela kecamuk intern pimpinan pada masa ini Jepang mengalami serangan dari pihak luar pula. Adalah pasukan Mongol yang menyerbu Jepang lewat Kyushu utara pada tahun 1274 dan 1281 setelah permintaan upeti mereka ditolak oleh shogun.
Serbuan pertama bangsa Mongol dapat ditahan oleh pertahanan militer Jepang. Namun pada serangan ke dua pasukan Mongol yang akan menyerbu Jepang disapu badai, badai inilah yang kemudian disebut sebagai kamikaze, dimana telah menolong Jepang dari serbuan orang asing.
Pada zaman Kamakura kemajuan terjadi dalam bidang pertanian dengan dibukanya areal pertanian baru yang berimbas pada meningkatnya tingkat produksi beras. Perdagangan meluas dan berkembang tidak hanya di kota tetapi juga di shoen. Pada masa ini eksport Jepang meliputi: pasir emas, air raksa, belerang, dan pedang. Dalam keagamaan Budha muncul aliran diantaranya: sekte jodo, sekte shin, sekte tendai dan shigon, sekte zen, sekte nichiren. Bidang sastra pada masa ini pun dapat dikatakan mengalami kemajuan.


[1] Menurut Kamus Standar Bahasa Jepang-Indonesia karangan Goro Taniguchi. Bakufu diartikan sebagai “pemerintahan shogun”. hlm: 26
[2] Subagyo. Sejarah Asia: meliputi Asia Timur, Asia Selatan, Asia Barat. FPIPS IKIP Semarang. hlm: 97
[3] Ibid.
BAKUFU MUROMACHI (1333-1576)

Akibat serangan Mongol walaupun tidak mengakibatkan Jepang jatuh pada kekuasaan asing namun mau tak mau telah mengakibatkan melemahnya kekuasaan shogun. Sebuah situasi yang disandang shogun berstatus quo ini digunakan seorang kaisar bernama Go Daigo untuk mencoba menumbangkan shogun. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Go Daigo pada tahun 1331 namun usaha ini menuai kegagalan, dan ia pun harus rela dibuang di pulau Oki.
Pada tahun 1333 Go Daigo berhasil lari dari pengasingannya untuk kemudian kembali mencoba menggulingkan shogun dengan bantuan para samurai yang tak puas atas pemerintah. Pemerintahan Kamakura kemuadian mengirim jenderal Ashigaka untuk menumpas para pemberontak, akan tetapi apa mau dikata karena Ashigaka sendiri pun ternyata membelot pada pihak pemberontak.
Kekuatan yang berlipat pada para pemberontak telah memunculkan tonggak tersendiri bagi kekuasaan kaisar Go Daigo. Kaisar mengawali pemerintahannya dengan suatu langkah kontroversial yang mana menempatkan samurai berkedudukan sama dengan bangsawan. Peristiwa ini kemudian popular disebut sebagai reatorasi Kemmu. Kemungkinan besar atas langkah kaisar tadilah yang menyebabkan para samurai tidak puas atas kebijakan penguasa, maka Ashigaka kembali menghidupkan pengaruh militernya sebagai wujud ketidak setujuannya terhadap kaisar. Maka masa-masa pasca fenomena tadi sangat kental akan kemelut kekuasaan, sampai saat Ashigaka Yoshimitsu berhasil meredakan kemelut dan menenangkan keadaan. Pemerintahan Ashigaka Yoshimitsu popular disebut sebagai bakufu Muromachi[1]
Pada zaman ini juga terjadi kekuasaan lokal yang cukup kentara dari para shugo yang mempunyai kekuasaan berlebihan di wilayahnya, kemudian disebut sebagai daimyo. Masalah kemudian timbul ketika para samurai ternyata tidak menaruh kesetiaan pada para shogun dan kaisar akan tetapi mereka malah menaruh kesetiaannya pada para daimyo di propinsi masing-masing. Sementara itu kekalutan polik mencapai puncaknya pada tahun 1467-1477 dimana peperangan terjadi dimana-mana, zaman ini kemudian dikenal sebagai zaman sengoku jidai.[2]



[1] Muromachi adalah nama salah satu distrik di Kyoto yang pada masa itu digunakan oleh Yoshimtsu sebagai pusat pemerintahannya.
[2] Sengoku jidai dalam Kamus Standar Bahasa Jepang-Indonesia. Goro Taniguchi berarti “zaman perang dalam negeri”. hlm: 507
PERIODE MOMOYAMA (1576-1600)

Selama Periode Momoyama (1576-1600) ditandai oleh Oda Nobunaga. Ia adalah seorang daimyo terkenal dari kawasan Nagoya (propinsi Owari) dan salah satu cermin samurai yang luar biasa pada zaman Sengoku. Oda Nobunaga telah menciptakan organisasi dan taktik perang yang cukup maju. Berkat kebrilianan otaknya ia mampu menumbangkan era kesogunan Ashigaka. Oda Nobunaga tewas pada tahun 1582 di tangan Akechi Mitsuhide yang ironisnya adalah pengikutnya sendiri.
Pasca Oda Nobunaga laju pemerintahan ditentukan oleh Toyotomi Hideyoshi. Pengangkatan tampuk kepemimpinan dipegang oleh Hideyoshi, selepas ia mampu membalaskan penghianatan Mitsuhide dengan membunuhnya. Toyotomi Hideyoshi menjadi menteri utama pada tahun 1586. ia berasal dari kalangan keluarga petani miskin. Tindakannya yang paling monumental adalah menciptakan undang-undang yang menetapkan hanya kaum samurai yang boleh membawa senjata. Sangat penting disadari bahwa pada masa ini perbedaan antara samurai dan penduduk sipil amat tipis. Namun sampai abad 17 pertikaian antar klan samurai telah mengakibatkan sebagian samurai turun kasta menjadi penduduk biasa. Penyebaran agama Kristen selama era Kristen (1543-1640) pada mulanya bisa ditoleransi, namun kemudian ditekan karena dianggap sebagai ancaman. Asal tahu saja, bahwa pada masa ini pengaruh Eropa lewat perpanjangan tangan Portugis telah mampu menyentuh bangsa Jepang. Kekhawatiran Jepang atas penetrasi Kristen telah pula membawa ajal lusinan biarawan Kristen.

PERIODE TOKUGAWA (1600-1867)

Kekuasaan bakufu Tokugawa diawali dengan naiknya Tokugawa Ieyasu sebagai shogun. Salah satu langkah tersendiri yang cukup signifikan dilakukan pada masa Ieyasu adalah penanganan masalah daimyo. Daimyo yang pada periode sebelumnya terkesan menjadi sebuah musuh dalam selimut dan biang dari segala kerusuhan serta pemberontakan kini ditangani dan diawasi denagan lebih seksama. Daimyo Tozama[1] diawasi dari dua arah Kyoto dan Edo.[2]
Dalam bidang sosial, khususnya bagi bangsawan militer berlaku kode etik Bhuke Shonato, suatu kode kependekaran. Dalam bidang kebudayaan dan religi terjadi perkembangan pesat pada ajaran konfusianisme. Ajaran Kristen yang pada mulanya disambut baik oleh shogun kemudian dianggap ancaman ketika para pemeluknya memantik pemberontakan Simabara. Penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran menimpa para pemeluk agama Kristen, orang asing, dan para biarawan. Shogun Tokugawa di bawah Iemari (1787-1837) ditandai dengan kemerosotan moral yang tinggi, munculnya shintoisme telah menikkan pamor kaisar sebagai keturunan dewa matahari. Factor-faktor di ataslah yang kemudian secara pelan tapi pasti telah memerosotkan citra shogun.
Mungkin tanpa disadari oleh klan Tokugawa sendiri bahwa fenomena-fenomena tadi merupakan awal berakhirnya masa bakufu yang telah mengakar pada masyarakat Jepang.



[1] Daimyo ini terdiri dari para daimyo yang diragukan kesetiaannya akibat tidak secara langsung memihak Tokugawa sewaktu terjadi perang Sekigahara.
[2] Kota pusat pemerintahan Tokugawa, sekarang kota ini dikenal dengan nama Tokyo.