Kamis, 31 Maret 2011

Penghapusan Sistem Tanam Paksa

Di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Johannes Van Den Bosch dalam tahun 1830 di Jawa mulai dijalankan tanam paksa, yang dalam beberapa hal adalah sebagai reaksi terhadap stelsel tanah yang terdahulu. Pengalaman-penngalaman yang didapat dari stelsel tanah memberikan pelajaran, bahwa kekuasaan feodal yang masih sangat berpengaruh masih harus dihormati, bahwa orang-orang Eropa tidak akan dapat mencapai apa-apa jika mereka mempergunakan organisasi desa untuk kepentingan produksi ekspor yang diperlukan pemimpin orang-orang Eropa. Ia mempergunakan desa Jawa untuk produksi ekspor. Rakyat dipaksa menanam tanaman-tanaman ekspor yang dikehendaki oleh pemerintah. Penanaman itu didpimpin oleh kepala-kepala di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Hasil pertanian yang diusahakan oleh rakyat akan diolah hingga mempunyai bentuk yang baik untuk pasar Eropa dipabrik-pabrik pengusaha partikelir, setelah diadakan kontak oleh pemerintah dengan pengusaha-pengusaha itu.
Motif utama pelaksanaan sistem tanam paksa(cultur stelsel) oleh van den Bosch sejak tahun 1830 adalah kesulitan finansial yang dihadapi pemerintah Belanda sebagai akibat Perang Jawa : 1825-1830 di Indonesia dan Perang Belgia : 1830-1831 di negeri Belanda, serta budget negeri Belanda sendiri yang dibebani oleh bunga yang berat, dan dengan harapan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan besar dari koloni-koloninya, terutama pulau Jawa dengan jalan apapun. Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan sejak tahun 1830 hingga 1870 telah membawa dampak yang sangat luas bagi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat Hindia-Belanda pada saat itu. Namun dalam pelaksanaannya terjadi penyelewengan yang memberatkan rakyat. Selain itu, juga terjadi bencana kelaparan yang sangat memprihatinkan dan hal itu telah menuntut dihapusnya system tanam paksa yang dinilai sudah tidak sesuai prosedur yang ada.
Pemerintah Hindia Belanda dalam usahanya untuk mempertinggi produksi komoditas tanaman ekspor menggunakan penduduk pribumi untuk membayar pajaknya dalam bentuk hasil yang dapat dijadikan sebagai barang ekspor ke pasaran Eropa dan negeri Belanda dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, meskipun pada kenyataannya banyak terjadi penyelewengan dan menimbulkan bencana kelaparan akibat kurang diperhatikannya sektor pangan bagi penduduk pribumi.
A.     Penghapusan  Sistem Tanam Paksa
Dalam perkembangannya system tanam paksa berjalan terus tanpa diketahui dan diawasi oleh pemerintah pusat begaimana pelaksanaannya dan apakah akibatnya. Baru pada tahun 1843 terbukalah mata para penguasa di Batavia ketika terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan bebrapa tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk para pribumi. Kelaparan antara tahun 1843-1848 mengakibatkan turunnya jumlah penduduk dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar 80.500 jiwa sebagai akibat dari kurangnya pengawasan terhadap jalannya system tanam paksa.[1]
            Pengerahan tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya, seperti rakyat disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman indigo di daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas. Penanaman tebu juga membawa beban  yang sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut pengolahan tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang memakan banyak waktu dan tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersama dengan penanaman padi oleh karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali penanaman padi tidak dapat dimulai dengan tepat karena menunggu sampai tebu ditebang.[2] Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami tanaman wajib yang melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan untuk menanam tanaman pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman pangan seperti padi dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan pangan dan bencana kelaparan terjadi.
            Pemerintah menjadi semakin memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa, terutama setelah terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk menghapus system tanam paksa mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
Selain bencana kelaparan, penyebab terjadinya kegagalan system tanam paksa yang telah menyebabkan sistem ini kemudian dihapus adalah adanya pengurangan luas lahan produktif akibat pengelolaan yang kurang memadai, adanya hama yang menyerang beberapa tanaman komoditi seperti kopi dan tebu, serta adanya pengaruh politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai contoh dari pernyataan tersebut, di Minangkabau pernah diberlakukan system tanam paksa untuk komoiditi kopi. Pada 20 tahun pertama program ini berlangsung dengan sukses. Produksi kopi di Minangkabau meningkat dari 58.000 pikul hingga mencapai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg) pada tahun 1864. namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara drastis, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, tanah yang paling baik untuk kopi mulai berkurang. Cara yang digunakan di Minangkabau adalah pengelolaan areal lahan yang luas, yang cocok sekali untuk menanam kopi selama mungkin. Sejak tahun 1850 telah dirasakan kebutuhan akan peremajaan pohon-pohon kopi, karena perkebunan-perkebunan kopi yang ada sudah berumur tua dan tidak lagi produktif. Dengan berkurangnya areal lahan yang baik di lokasi-lokasi yang lama, maka perlu sekali membuat kebun-kebun baru di daerah lain. Hal ini tidak hanya berarti mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang tidak produktif seperti membuka hutan, menanam dan memetik, tetapi hal itu juga berarti menambah pekerjaan, karena jarak antara daerah baru itu dengan kampung para pekerja lebih jauh dan menimbulkan kesulitan transportasi akibat jarak yang jauh.
Kedua, penyakit daun yang berat menghinggapi pohon-pohon kopi. Di tahun-tahun 1870-an, penyakit Hemilia vestatrix menyerang kopi jenis Arabica yang ditanam di sana. Penyakit itu telah memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi yang berketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karenanya diadakan usaha untuk menanam kopi di ketinggian tersebut, walaupun pada akhirnya membutuhkan tenaga dan transportasi yang lebih. Namun rakyat minangkabau kurang antusias dalam hal ini, sehingga lama-kelamaan produksi kopi menurun drastis.
            Ketiga, sesudah tahun 1873, pemerintah kolonial Belanda terlibat dalam peperangan yang panjang, mahal dan sengit di Aceh. Hal ini membuat rakyat Minangkabau berubah sikap dalam hal pengelolaan perkebunan kopi dan akhirnya banyak perkebunan kopi yang terbengkalai.
System tanam paksa telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor, dan mengirimnya ke negeri induk, dan kemudian dijual ke pasaran dunia, yang mendatangkan keuntungan besar. Sejak masa 1841 sampai 1863, sistem tanam paksa telah mendatangkan laba sebesar 461 juta gulden, sehinbgga hutang negeri Belanda dapat dilunasi. Antara 1836 dan 1866 diperoleh keuntungan sebesar 692 juta gulden, dan antara 1867 dan 1877 diperoleh keuntungan sebesar 151 juta gulden. Secara keseluruhan politik perekonomian yang diterapkan sejak tahun 1815-1870 diarahkan untuk menggali kekayaan tanah jajahan (Hindia-Belanda) dan menguras sumberdaya yang ada demi kepentingan negeri Belanda dengan hanya melihat sedikit atau tidak sama sekali kepentingan masyarakat probumi.

B.     Kritik Terhadap Tanam Paksa
Pada akhir pelaksanaan sistem tanam paksa terjadi pergeseran kekuasaan di parlemen Belanda. Partai liberal kini lebih mendominasi parlemen dibandingkan partai konservativ. Kini orang-orang pribumi punnya pendukung dari partai lliberal yang duduk di kursi parlemen belanda.
W.R.Van Hoevell, seorang pendeta gereja yang diusir dari Hindia karena mengkritik pemerintahan, menuntut keadilan dalam urusan pemerinntahan dengan orang pribumi. Dia melakukan pidato-pidato yang terus menuntut perbaikan bagi masyarakat di tanah jajahan. Salah satu hasil dari usaha Van Hoevell dengan partainya adalah penghapusan perbudakan di Hindia Barat maupun Hindia Timur sejak tanggal 1 Januari 1860.
Eduard Douwes Dekker menggebrak dunia dengan karyanya Max Havelar. Douwes Dekker adalah pejabat administrative, yaitu asisten residen, di Lebak Banten. Dengan nama samaran Multatuli (Bahasa Belanda; aku telah bannyak menderita) ia menulis buku max havelar atau lelang kopi persekutuan dagang Belanda, yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda. Buku tersebut membuka mata kaum lliberal belanda bahwa tanam paksa sangat membawa penderitaan bagi kaum pribumi.
Reaksi lain ditunjukkan oleh Isaac Franse Van De Putte. Dulunya dia adalah seorang pegawai di Pabrik penyulingan Gula besar di Jawa, ia juga pernah menjadi perwira armada laut pedagang belanda. Tahun 1863 dia diminta untuk bergabung dengan partai lliberal sampai akhirnya dia diangkat sebagai menteri kolonial. Ia menulis buku suiker contracted (kontrak-kontrak gula). Dalam pemerintahan Belanda, ia mengusulkan untuk mennghapus  semua usaha pertanian pemerintah kecualli kultur gula dan kopi, untuk menghentikan semua monopoli, dan untuk memperkenalkan suatu kebijakan perdagangan yang baru yang didasarkan pada perdagangan bebas.
            Selain tokoh-tokoh diatas masih ada beberapa orang belanda yang menentang tanam paksa. P. Markus salah seorang anggota A Market Van Indie mengusulkan penghapusan tanam paksa karena menimbulkan penderitaan dan melanggar kebebasan. Seorang inspektur pertanian Belanda, L.Vitalis, jjuga menusulkan agar tanam paksa dihapus karena merugikan pertanian rakyat. W.Boch, pegawai dinas kesehatan Belanda, mengatakan tanam paksa menimbulkan kemiskinan rakyat sehingga sebaiknya dihapus.

C.     Dampak Tanam Paksa
Dampak dari penerapan sistem tanam paksa di tanah jajahan sanngat dirasakan oleh pemerintah belanda. Bagi mereka Van Den Bosch adalah seorang pahlawan ekonomi yang mampu menyelamatkan kerajaan belanda dari keterpurukan ekonomi dan kekosonngan kas negara. Dengan cepat penghasilan pemerintahan pemerinntah Belanda meningkat ssejak tahun 1831, sehingga kas negara yang semula kosong bisa dengan cepat terisi. Hutang-hutang negara bisa dilunasi dan penerimaan pendapatan melebihi anggaran pengeluaran sehingga membawa pengkatan kesejahteraan Belanda. Keuntungan (batig slot) yang diperoleh pemerintah Belanda memang sangat besar. Sebagai contih pada tahun 1832 dan 1867 saldo untung yang didapat mencapai 967 juta gulden.
Betapa kejamnya tanam paksa yang dicanangkan oleh Van den Bosch, harus diakkui bahwa sistem tersebut juga memiliki dampak positif bagi masyarakat pribumi. Tanam paksa memperkenalkan kepada masyarakat pribumi apa itu teknologi multicrops di bidang pertanian. Selain itu petani pribumi juga menjadi menngenal jenis-jenis tanaman baru yang menjadi komoditi perdagangan dunia, mengetahui daerah-daerah yang cocok untuk jenis tanaman tertentu dan juga cara mengolah dan memanennya. Masyarakat Pribumi juga menjadi bekerja dengan disiplin dan tepat waktu, selain itu sarana dan prasarana yang dibangun pada masa tanam paksa, seperti jalan dan jembatan masih bisa  mereka manfaatkan.
Keuntungan dari tanam paksa yang dirasakan oleh masyarakat pribumi sangat-sangat tidak sepadan bila dibansingkan dengan penderitaan yang harus mereka rasakan, masyarakat pribumi jauh-jauh lebih dirugikan. Akibat langsung yang diterima oleh penduduk Indonesia dari sistem tanam paksa jelas sekali. Kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan harus mereka tanggung. Ditambah lagi dengan beban pajak yang berat, panen yang gagal, dan kerja rodi yang semena-mena yang membawa penduduk bekerja di lahan-lahan Belanda semakin menambah penderitaan kaum pribumi. Banyak tanah pertanian yang terlantar karena tenaga penggarap harus bekerja di lahan-lahan milik Belanda, akibatnya gagl panen dan terjadi paceklik. Kelaparan terjadi dimana-mana,seperti di Cirebon (1843), Demak (1848), dan juga Gerobogan (1849) sehingga mengurangi jumlah penduduk Jawa cukup banyak.
Tanam paksa juga menimbulkan berbagai perubahan dalam kehidupan social dikalangan masyarakat. Pelapisan masyarakat, khususnya masyarakat petani di Jawa mengalami perubahan setelah berlakunya system ini. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Sementara itu lalu lintas uang mulai meresap di daerah pedesaan, system pekerja upah mulai dikenal, serta system penyewaan tanah kepada pengusaha yang dibayar dengan uang mulai marak terjadi.

D.     Keadaan Nusantara Pasca Penghapusan Tanam Paksa
System tanam paksa secara resmi dihapus pada tahun 1870, meskipun dalam prakteknya tanam paksa terhadap kopi baru benar-benar berakhir pada 1915. Pemerintah Belanda mengganti system tanam paksa dengan system sewa tanah dalam UU Agraria (Landreform)) tahun 1870. Tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah menetapkan dasar dari peraturan dimasa yang akan datang, dimana perusahaan swasta diizinkan untuk menyewa lahan miliki kaum pribumi dan melarang penjualan tanah yang dimiliki atau dipakai orang pribumi kepada orang asing. UU Agraria mengizinkan pihak swasta memegang sewa tanah selama 75tahun.
Partai Liberal berharap walaupun tanam paksa telah dihapus di wilayah nusantara, namun daerah jajahan ini masih terus bisa memproduksi kekayaan yang lebih besar dan sangat dibutuhkan untuk mengisi kas Negara Belanda. Mereka berharap kehilangan pemasukan dari perusahaan pertanian yang menangani hasil tanam paksa milik pemerintah dapat diganti oleh penghasilan yang jauh lebih besar dari bea-cukai dan pajak. Berlakunya UU Agraria membuat kaum swasta barat aktif membuka perkebunan yang cukup besar di Jawa dan Sumatera Timur. Penduduk yang dulunya bekerja rodi kepada pemerintah belanda tanpa mendapat upah kini berbondong-bondonng bekerja sebagai buruh perkebunan milik swasta. Penduduk Jawa banyak yang bermigrasi ke perkebunan yang ada di Sumatera Timur untu bekerja sebagai buruh.




Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)
Sartono Kartodirjo, Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1994),
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm.340
Depdiknas, Sejarah Nasional Indonesia 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hkm.185
Parakitri T.Simbolon, Menjadi Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), Hlm.133



Prof.D.H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid 1..Jakarta.hal 197
Drs. A.Daliman,Mpd,Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem Politik Kolonisasi dan Administrasi Pemerintah Hindia-Belanda.UNY.2001.hal 29.
Sartono Kartodirdjo.1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900, dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: Gramedia hlm. 312