Pendidikan colonial berawal dari kedatangan bangsa portugis ke nusantara, yaitu Maluku, dengan mengemban missi 3G (glory, gold, gospel). Orang-orang Portugis datang ke Indonesia dengan membawa paderi-paderi yang bertugas menyebarkan agama mereka, Katholik Roma. Langkah pertama yang mereka lakukan untuk menyebarkan agama adalah dengan melakukan pembabtisan kepada penduduk setempat setelah itu mereka memberikan pendidikan kepada mereka agar agama baru yang dipeluk itu dapat diresapi dan didalami. Didirikan juga sekolah seminari untuk anak-anak dari para bangsawan dan pemuka masyarakat. Selain pelajaran agama diajarkan pula pelajaran menulis, membaca dan berhitung. (Sumarsono Maestoko, 1979: 36-38)
Setelah VOC menguasai nusantara pendidikan portugis yang beraliran Khatolik-Roma digantikan dengan aliran Kristen-Protestan oleh Belanda. Berbeda dengan kebijakan pendidikan yang ada di belanda yang member wewenang penuh pendidikan kepada gereja, VOC yang diberi wewenang penuh dalam mengatur daerah kekuasaannya tidak memberikan penanganan pendidikan kepada gereja. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran walupun masih tetap dilakukan oleh kalangan agama tetapi mereka adalah pegawai-pegawai VOC. Pendidikan VOC diselenggarakan selain karena kebutuhan orang-orang Belanda akan pendidikan juga karena kebutuhan VOC akan tenaga kerja pembantu pribumi yang murah. Untuk dapat melaksanakan tugasnya, mereka perlu diberi pendidikan sekedarnya. VOC selain mengambil alih sekolah-sekolah milik Portugis juga mendirikan sekolah sendiri. Bebrapa sekolah milik VOC anatara lain Batavische shool, sekolah lati, seminarium theologicum, dan academie der Marine. (Sumarsono Maestoko, 1979: 41-44)
Setelah VOC mengalami kebangkrutan maka Indonesia langsung berada di bawah kekuasaan kerajaan Belanda. Saat itu di Eropa muncul aliran baru, yaitu Aufklarung. Menurut aliran itu pendidikan harus dipisahkan dari gereja. Belanda menerapkan aliran itu ke Indonesia. Pendidikan tidak lagi memihak suatu agama, persekolahan diarahkan untuk membentuk suatu golongan elite social yang digunakan sebagai alat supermasi politik dan ekonomi belanda. (Sumarsono Maestoko, 1979:47-48). Tujuan pendidikan masa Hindia Belanda adalah memnuhi kebutuhan tenaga kerja dan buruh bagi Belanda.(Redja Mundyahardjo, 2001:262) Belanda membatasi pendidikan hanya untuk kalangan bangsawan pribumi. Baru setelah dicetuskannya politik etis, Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah barat untuk kalangan pribumi. Pendidikan yang disediakan oleh belanda hanay sekedar belajar membaca, menulis dan berhitung. Setelah lulus dari sekolah mereka hanay bekerja sebagai pegawai kelas rendah bagi kantor-kantor belanda.( Pulung Septyoko, 2008:4)