Sabtu, 04 Juni 2011

PERKEBUNAN KOPI DI SUMATERA TIMUR


latar belakang
Dalam sejarah bangsa Indonesia dari masa kolonialisme sampai dewasa ini, sektor perkebunan tidak dapat dipisahkan dan memiliki arti yang sangat penting perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Sejak kedatangan bangsa Barat ke Indonesia mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai kepada masa ketika Barat itu sendiri identik dengan kapitalis dan kolonialis, perkebunan menjadi salah satu bukti yang tidak bisa dikesampingkan untuk merekonstruksi dan menjelaskan sejarah masa lalu bangsa Indonesia.
Berkembangnya sektor perkebunan di Indonesia khususnya pada masa kolonial pada satu sisi dianggap sebagai sesuatu yang memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia, memberikan pengetahuan tentang pertanian modern, memberikan keuntungan ekonomi yang besar, membuka kesempatan perekonomi baru, namun pada sisi lain dianggap sebagai hambatan bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan dan penyiksaan, serta mengakibatkan terjadinya kemiskinan struktural dan kebudayaan.
Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kopi yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk di berbagai daerah di Indonesia.
Para penguasa di kawasan Sumatera Timur misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan kopi pada akhir abad ke-16. Pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia saja, melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya diberbagai kawasan Sumatera lainnya, sehingga terjadi mobilitas penduduk ke daerah-daerah yang terdapat perkebunan, terutama kopi.
Sejak awal abad ke-16 kaum pedagang Portugis dan Spanyol datang ke kepulauan Nusantara dalam rangka usaha mereka mendapatkan bagian dari perdagangan rempah-rempah di Laut Tengah, yang berasal dari kepulauan Maluku yang sangat menguntungkam itu. Sebelumnya, cengkeh dan pala bisa sampai di pasaran Eropa melalui kaum pedagang India, Arab, dan Venesia. Berbeda dengan kaum pedagang Spanyol dan Portugis, pedagang.Belanda yang tiba pada abad ke-17 dan sesudahnya, tidak menyesuaikan diri dengan pola perdagangan yang telah lama berjalan, tetapi berusaha untuk memonopoli seluruhnya. Untuk mencapai tujuannya, kaum pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Persekutuan Dagang India Timur pada tahun 1602. Dalam usahanya yang tidak mengenal belas kasihan demi laba yang sebesar-besarnya, VOC menaklukkan kepulauan Maluku dan membangun pelabuhan-pelabuhan dagang di pulau-pulau Nusantara lainnya. Selama abad ke-18 fokus perdagangan beralih dari rempah-rempah kopi, yang diperoleh dengan jalan perampasan, terutama di Pulau Jawa dan juga di daerah lainnya di Indonesia. Dengan jalan politik adu domba (divide et impera), Belanda mengambil manfaat dari sengketa-sengketa di antara para penguasa setempat, untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat. Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama kopi di wilayah pantai Barat Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil mengembangkan perkebunan kopi pada saat yang bersamaan.
Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Sumatera Timur, menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Sumatera Timur ini kemudian menjadi salah satu contoh dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam Paksa dalam historiografi Indonesia. Sejak awal abad ke-16, perkebunan kopi yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang sekarang berada di Sumatera Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.


Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan dan memaksakan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula. Di Jawa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial.
Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Timur. Penduduk Sumatera Timur yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produksinya dengan kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an. Sebelum itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal, sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk perkebunan-perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi ditentukan oleh pemerintah. Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di Palembang, Lampung, dan Bengkulu pada waktu yang hampir bersamaan.
Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi colonial, pemerintah kolonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera Timur para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala kampung menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri. Sementara itu bagi para elite yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak penghulu di Sumatera Timur, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu.
Perkembangan perkebunan besar milik pemodal swasta Barat baru berlangsung setelah berlakunya Undang Undang Agraria 1870, penelitian yang dilakukan Vincent Houben menunjukkan bahwa para pemodal swasta Barat telah menyewa tanah-tanah milik para penguasa lokal untuk membuka perkebunan kopi. Sebagai contoh, dari 51.000 ton kopi yang dihasilkan Sumatera Timur pada tahun 1845, 4.413 atau 8,6% berasal dari Vorstenlanden, yang semuanya dihasilkan oleh kebun-kebun milik pemodal swasta Barat. Ada juga bukti yang menyebutkan bahwa perkembangan perkebunan besar milik pengusaha swasta di Sumatera Timur sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1816, jauh sebelum diberlakukannya undang-undang agraria. Biarpun ada larangan terhadap penyewaan tanah milik para penguasa lokal oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823, sejak tahun 1827 penyewaan itu berlangsung kembali.
Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera. Pembukaan perkebunan kopi secara besar-besaran milik swasta di Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga kerja kontrak bagi orang-orang Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.
Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi melalui program kolonisasi. Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah.
Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.


Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk membangun hegemoni kultural dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis yang tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara. Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya kolonialisme dan kolonis.
Perkembangan sistem perekonomian di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat pemerintahan, bahkan memiliki tentara.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutuskan diri dari belenggu masa lalu itu? Tentu saja tidak ada suatu cara instan yang dapat digunakan. Salah satu cara adalah memahami secara benar perkembangan historis masyarakat perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.
Daftar Pustaka
Booh, 1988, Anne et al., ed., Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES
Djoened Poesponegoro, Marwati., 1993, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta : Balai Pustaka
Karl J. Pelzer, 1985, Toen Keboen dan Petani Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan
Kartodirdjo, Sartono, 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Mubyarto et al., 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media