Kamis, 09 Juni 2011

politik Etis


Latar Belakang
Sesudah tahun 1850 kaum libueral memperoleh kemenangan politik di Belanda. Dampaknya sanagt jelas terasa bahkan di negeri jajahan, termasuk Hindia Timur. Antara  tahun 1870-1900 usaha-usaha perkebunan swasta barat banyak tumbuh di wilayah negeri-negeri jajahan termasuk Indonesia. Usaha-usaha perekebunan swasta barat ini tumbuh pesat da mendatangkan keuntungan yang besar bagi pengusaha. Kekayaan negeri jajahan mengalir dengan lancar ke negeri Belanda, sama seperti jaman tanam paksa. Akan tetapi keadaan ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh rakyat negeri jajahan. Seperti yang terjadi pada rakyat di Jawa. Kesejahteraan mereka merosot tajam, terutama sejak terjadi krisi perkebunan tahun 1885. Krisi ini mengakibatkan harga sewa tanah turun dan upah pekerja pabrik juga ikut mendapat potongan yang cukup besar. Pada akhir abad ke-19 muncul kritik-kritik tajam yang ditujukan pada pemerintahan HIndia-Belanda akibat kegagalan praktek liberalisasi ini. mereka menganggap liberalisasi tidak jauh berbeda dengan tanam paksa yang hanya menguntungkan negeri belanda dan mengabaikan nasip rakyat yang ada di tanah jajahan.

Lahirnya Politik Etis
Politik etis ata politik balas budi adalah sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah colonial memeganng tanggung jawab moral untuk mensejahterakan rakyat bumi jajahan yang telah banyak member kemakmuran bagi Belanda. Pemikiran ini awalnya muncul drai kritik terhadap tanam paksa dan kembali muncul saat terjaidkrisi perkebunan tahun 1885. Kritik ini dilontarkan oleh kaum etis. Munculnya kaum etis dipelopori oleh Pieter Brooshooft, wartawan Koran De Locomotife, dan C. Van Deventer yang ternyata membuka mata pemerintah belanda untuk lebih memperhatikan nasip rakyat bumi jajahan.
Tanggal 17 Sepertember 1901 Ratu Wilhelmina naik tatah. Dalam pidatonya pada pembukaan Parlemen Belanad, dia menegaskan bahwa pemerintah belanda mempunyai kewajiban moral dan hutang budi terhadapp bangsa pribumi di Hindia-Belanda. Dalam pidato itu Ratu Wilhelmina mengungkapkan kebijakan untuk mewujudkan tanggung jawa belanda kepada tanah jajahan, yaitu dengan program trias politika. Ketiga kebijakan politik nalas budi (etis) ini meliputi:
1.      Meperbaiki dan membangun pengairan-pengaira dan bendungan untuk keperluan pertanian rakyat pribumi (irigasi)
2.      Mengajak penduduk pribumi untuk trnasmigrasi ke daerah yang jarang penduduknya (emigrasi)
3.      Memperluas bidang pendidikan danpengajaran (edukasi)
Selanjutnya ketiga kebijakan ini dikenal dengan trilogy Van Deventer karena terinspirasi dari tulisan Van Deventer yang berjdul Een ereschuld (berhutang budi) yang dimuat dalam Koran De Locomotief. 

Pekasanaan Politik Etis
Kebijakan pertama dan kedua politik etis berjalan tidak sesuai dengan targetnya. Banyak penyimpangan terjadi di sana. Bahkan dalam dunia pendidikan masih terjadi sikriminasi antara kaum pribumi dengan orang-orang keturunan.
Dalam bidang irigasi, pembangunan saluran irigasi dilakukan bukan untuk mengairi lahan pertanian rakyat tetapi justru untuk mengairi perkebunan-perkebunan milik kaum liberal. Pembangunan bendungan juga didasarkan pada tujuan yang sama sehingga kebijakan ini sama seklai tidak menguntungkan rakyat pribumi.
Emigrasi memang pada prakteknya terjadi dengan cukup baik. Banyak penduduk jawa yang cukup padat melakukan perpindahan, transmigrasi, ke beberapa daerah yang berpeduduk jarang. Akan tetapi mereka dipindahkan ketempat yang disana berdiri perkebunan-perkebunan swasata, seperti di sumatera timur. disana mereka dijadikan sebagai buruh-buruh kasar perkebunan yang dibayar dengan upah nimin. Mereka sengaja didatangkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan yang luas-luas itu.
Pengaruh politik etis dalam bidang edukasi berbeda dengan kedua bidang lainnya. Penyimbpangan tetap ada, akan tetapi ini merupakan tonggak awal dari lahirnya kesadaran akan kebangsaan bagi generasi muda yang akan datang. Politik etis sangat berperan dalam perluasan pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Salah seorang pejabat belanda yang berjasa dalam bidang pendidikan ini adalah J.H. Abendanon, yang menjabat sebagai menteri kebudayaan, agama dan kerajinan antara tahun 1900-1905. Ia mendirikan sekolah-sekolah rakyat, baik untuk para priyai maupun rakyat biasa hampir merata di seluruh daerah-daerah. Mulai tahun 1900 berdiir banyak sekolah yang nantinya akan mencetak generasi muda yang mengnatarkan bangsa paa pintu gerbang kemerdekaan. Sebut saja OSVIA (Opleiding School Vor Inlandsche Ambtenaren) yaitu sebuah sekolah yang mencetak pamong praja serta STOVIA (School Tot Opeiiding Van Inlandsche Artsen) yang menjadi cikal bakal fakultas kedokteran.
Walaupun pemerintah colonial belanda melaksanakn program pendidikan melalui politik etis tetap saja sekolah tidak ditujukan untuk meningkatkan sumber daya manusia bangsa pribumi dalam segi pengetahuan. Pemerintah belanda mendirikan sekolah semata-mata untuk memperoleh tenaga kerja rendahan yang akan mengoperasionalkan pabrik dan perkebunan modern, serta mengisi pos adminsitrasi pemerintahan colonial. Sekolah-sekolah itu juga hanya bisa dinikamti oleh sebagian golongan saja, sesuai dengan status social pemerintahan colonial. Pendidikan yang dibuka hanya diperuntukkan untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang mampu. Terjadi diskriminasi pendidika, yaitu pengjaran di sekolah kelas 1 untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang pribumi yang berharta diajarkan pada kelas 2 di sekolah umum untuk orang-orang Indo, eropa, priyayi, dan golongan asia timur jauh.